Penulis : SABBRINA ZAINUDIN EL BADR
Mahasiswa Rekayasa Perangkat Lunak Universitas Royal.
Tahun 2045 akan menjadi momen penting dalam sejarah Indonesia, satu abad kemerdekaan. Di masa itu, kita akan melihat wajah Indonesia yang serba modern, kota-kota cerdas, birokrasi digital, masyarakat terhubung secara daring, dan layanan publik yang efisien. Namun, dari semua hal besar itu, ada satu yang sering terlupakan yaitu penerimaan negara di era digital. Tanpa dibarengi penerimaan negara yang kuat dan berkelanjutan, semua cita-cita itu hanya tinggal rencana. Pembangunan Ibu Kota Nusantara, pendidikan gratis, kesehatan universal, serta pembangunan infrastruktur yang baik tidak akan mampu dijalankan tanpa dukungan fiskal yang memadai. Maka dari itu penerimaan negara di era digital juga harus dibarengi dengan transformasi cara negara mengelola penerimaannya, yaitu perubahan dari sistem konvensional ke digital, dari manual ke otomatis, dari reaktif menjadi adaptif.
Transformasi Digital, Jalan Menuju Masa Depan Fiskal
Kehidupan kita sehari hari tidak bisa dipisahkan dari dunia teknologi digital. Dimana kita belajar, bekerja, belanja, dan membayar menggunakan perangkat digital. Pemerintah Indonesia pun telah mengambil langkah progresif untuk menjadikan teknologi sebagai tulang punggung sistem penerimaan negara, terutama di sektor perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Langkah reformasi ini bukan sekadar menerapkan teknologi digital, tetapi sebagai transformasi menyeluruh dalam cara berpikir dan bertindak. Digitalisasi memungkinkan negara ini untuk menjangkau lebih banyak wajib pajak, mengelolaan secara efesien, dan memperkuat transparansi.
Sistem Pajak Digital: Cepat, Mudah, Transparan
Penerimaan negara terbesar adalah bersumber dari pendapatan pajak. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak. telah mengimplementasikan sistem seperti Core Tax Administration System, pemadanan NIK sebagai NPWP, dan pelaporan secara daring.
Dengan dukungan big data dan artificial intelligence, DJP (Direktorat Jenderal Pajak) kini dapat menganalisis transaksi digital, mendeteksi potensi pajak yang belum terdeteksi secara manual, serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak tanpa perlu menaikkan tarif. Bahkan, gaya hidup konsumen dan aktivitas ekonomi daring lainnya kini bisa menjadi indikator baru dalam pemetaan penerimaan pajak.
Bagi masyarakat, sistem daring ini memberi kemudahan. Mereka tidak perlu lagi mengisi formulir berlembar-lembar bahkan datang ke kantor pajak yang bisa jadi sangat jauh dari rumah. Semua dapat dilakukan secara daring bahkan menggunakan ponsel pribadi hanya dari rumah. Bagi negara, ini cara membangun kepercayaan publik melalui pelayanan yang efesien dan profesional juga transparansi.
PNBP: Dari Manual Menuju Digital
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor sumber daya alam, perizinan, hingga layanan publik juga harus mengalami perubahan secara digital. Sistem aplikasi seperti SIMPONI memudahkan masyarakat membayar biaya retribusi dan biaya layanan secara daring, dengan bukti transaksi yang tercatat secara real-time dan transparan.
Misalnya, saat perusahaan ingin membayar retribusi, seluruh proses dapat diawasi, diverifikasi, dan ditelusuri jejaknya secara digital. Ini tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga mengurangi celah korupsi dan praktik manipulatif yang selama ini membebani sistem keuangan negara ini.
Mewujudkan Ekosistem Penerimaan Negara yang Kolaboratif dan Digital
Untuk mewujudkan digitalisasi penerimaan negara, terdapat banyak tantangan dan masalah yang dihadapi, diantaranya adalah :
1. Gangguan teknis, pada saat peluncuran Coretax/CTAS pada Januari lalu sempat terjadi masalah serius sehingga wajib pajak tidak tidak dapat dapat mengakses dan sistem tidak dapat mengeluarkan pajak
2. Infrastruktur dan akses internet yang tidak merata, banyak wilayah Indonesia yang masih memiliki akses internet terbatas dan tidak stabil, sehingga digital reporting sulit diimplementasikan merata
3. Ketimpangan literasi digital, banyak wajib pajak terutama UMKM dan individu belum memahami cara pakai dan mengisi system digital pajak, sehingga terjadi kesalahan pengisian.
Namun, semua tantangan ini bukan alasan untuk berhenti. Solusi strategis yang dapat ditempuh meliputi:
1. Investasi pada talenta ASN digital, termasuk pelatihan dan peningkatan kapasitas dalam bidang teknologi dan data.
2. Regulasi yang fleksibel dan adaptif terhadap perubahan perkembangan teknologi, tanpa mengorbankan akuntabilitas dan transparansi.
3. Sosialisasi literasi fiskal yang masif, kreatif, dan inklusif, agar masyarakat memahami hak dan kewajibannya secara utuh.
Kolaborasi adalah Syarat Mutlak Ekosistem Penerimaan Negara. Transformasi penerimaan negara tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja. Dunia usaha dan masyarakat juga harus ambil bagian.
Tiga elemen penting yang harus berjalan seiring:
1. Pemerintah wajib menjamin keamanan data dan keandalan sistem digital.
2. Pelaku usaha harus menerima dan mendukung pelaporan keuangan secara terbuka dan digital.
3. Masyarakat perlu didorong untuk aktif memahami dan menjalankan kewajiban perpajakan dengan kesadaran, bukan keterpaksaan.
Kesimpulannya dalah Digitalisasi Penerimaan Negara di Era Digital Adalah Kunci Kemandirian. Di Era Digital, penerimaan negara tidak lagi sekadar berasal dari sektor konvensional. E-commerce, ekonomi digital, aset virtual, dan kerja lepas lintas negara akan menjadi sumber baru yang signifikan. Sistem fiskal Indonesia harus siap mengelola ini semua dengan cermat dan cerdas. Digitalisasi penerimaan negara bukan sekadar wacana berkepanjangan. tapi ini adalah upaya membangun kedaulatan fiskal Indonesia di era digital. Namun, tentunya terdapat masalah dan tantangan yang harus segera diselesaikan untuk mewujudkannya. Kita tidak hanya membangun sistem perpajakan secara daring semata, tapi mempersiapkan Masa Depan Penerimaan Negara dan Menjawab Tantangan Era Digital. Masa depan penerimaan negara adalah masa depan kita semua. Dan masa depan itu dimulai hari ini dengan data, teknologi, dan kolaborasi.




















