MEDAN (Portibi DNP) : Awitan gangguan mental cenderung terjadi pada saat masa remaja (Erskine etal., 2015; World Health Organization, 2014).
Hal ini menjadi kesempatan yang unik untuk memberikan intervensi dini dan layanan kesehatan mental yang ditargetkan khusus untuk remaja karena penanganan dan dukungan yang efektif dapat menangani dan mengurangi gejala (Colizzi, Lasalvia, & Ruggeri, 2020).
Hal ini penting, karena remaja menghadapi tantangan-tantangan yang unik dalam mengakses layanan kesehatan akibat tekanan dari keluarga, pengaruh teman sebaya, serta kesulitan dalam membayar biaya layanan tersebut.
Pemahaman terkait tantangan-tantangan yang dihadapi oleh remaja dapat membuka jalan untuk intervensi yang ditujukan untuk mengurangi halangan dalam usaha meningkatkan penggunaan serta luaran layanan untuk remaja dengan masalah kesehatan mental atau gangguan mental.
Hal itu tertuang ketika Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) bekerjasama dengan The University Of Quenaland Australia, John Hopkins Bloomburg School of Public Helth, Kementerian Kesehatan RI, Universitas Sumatera Utara (USU) dan Universitas Hasanuddin menggelar disemenasi hasil Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) terkait kesehatan mental remaja, di Santik Dyandra Hotel, Jalan Kapten Maulana Lubis Medan, Kamis (2/2/2023).
Dalam paparannya, dr. Amirah Ellyza Wahdi MSPH, dari Pusat Kesehatan Reproduksi FK-KMK UGM menjelaskan I-NAMHS menemukan masalah kesehatan mental banyak dialami oleh remaja, di mana satu dari tiga remaja (34.9%) memiliki masalah kesehatan mental dalam kurun waktu 12 bulan.
Selain itu, terangnya, satu dari dua puluh (5.5%) remaja Indonesia memenuhi kriteria untuk satu gangguan mental. Berdasarkan data sensus terkini, prevalensi ini setara dengan 13 juta remaja (yang memiliki masalah kesehatan mental) dan 2 juta remaja (yang memiliki gangguan mental)
“Temuan I-NAMHS menunjukkan kesehatan mental merupakan isu kesehatan masyarakat yang cukup serius untuk kelompok usia remaja,” terangnya.
Dia juga menambahkan, hal ini didukung oleh temuan mayoritas remaja yang melaporkan perilaku bunuh diri atau perilaku menyakiti diri sendiri dalam kurun waktu 12 bulan juga melaporkan bahwa mereka mengalami masalah kesehatan mental.
“Temuan I-NAMHS juga mengindikasikan kesehatan mental yang buruk merupakan isu kesehatan yang lazim di kalangan remaja Indonesia, di mana satu dari tiga remaja Indonesia mengalami suatu masalah kesehatan mental dalam 12 bulan dan satu dari dua puluh remaja memenuhi kriteria suatu gangguan mental,” tambahnya.
Prevalensi ini mengindikasikan bahwa kesehatan mental merupakan isu kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian dari para pembuat kebijakan serta rencana di Indonesia. Tambahan lagi, data dari I-NAMHS dapat menjadi dasar bukti untuk inisiasi kesehatan dan kebijakan.
“Contohnya, mayoritas dari remaja sedang duduk di bangku sekolah. Sehingga, implementasi strategi penapisan atau pengelolaan yang spesifik yang diintegrasikan dengan kegiatan promosi kesehatan mental di sekolah dapat menjadi suatu gerakan untuk menurunkan prevalensi dan dampak dari masalah kesehatan mental,” ungkapnya.
Sementara itu, Dr Drs Zulfendri Sikumbang M.Kes peneliti LP USU dan juga koordinator peneliti untuk wilayah Barat (10 provinsi) di Sumatera mengatakan, selain itu, dikarenakan kecemasan menjadi masalah kesehatan mental yang paling lazim, merancang program berbasis sekolah yang berfokus pada keterampilan dasar pengelolaan kecemasan, cara mengidentifikasi kecemasan, serta cara mencari pertolongan profesional dapat menjadi cara yang efektif meskipun dengan sumber daya yang terbatas.
I-NAMHS menggarisbawahi prevalensi kondisi kesehatan mental yang buruk di kalangan remaja serta besarnya kebutuhan untuk investasi pada kesehatan mental dan kesejahteraan remaja. Manfaat yang ditawarkan dari investasi tersebut terbagi menjadi tiga.
Pertama manfaat yang akan dialami sekarang dengan meringankan gejala dan meningkatkan kemampuan untuk berfungsi secara optimal dalam keseharian remaja.
Kedua, manfaat yang akan dialami kelak saat dewasa dengan potensi menghindari atau meminimalisir luaran yang kurang baik dan potensi menghindari gangguan mental kronik.
Dan terakhir manfaat yang akan dialami oleh generasi selanjutnya yang menikmati orang tua yang sehat secara mental.
Isu ini harus menjadi prioritas untuk memastikan agar “Indonesia Emas 2045 dan Generasi Emasnya” terealisasi.
“Berdasarkan hasil riset ini diharapkan Kementrian terkait, LSM, sekolah (SD dan SMP) atau pun perguruan tinggi dapat berkolaborasi penanganan secara holistik permasalahan kesehatan mental remaja dalam upaya pencapaian generasi emas kedepannya,” tutupnya.
I-NAMHS merupakan sebuah survei rumah tangga berskala nasional yang dikembangkan dan dilaksanakan untuk mengetahui sejauh mana kesehatan mental remaja di Indonesia.
Hadir sebagai pembicara antara lain, Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes, dari Fakultas Kesehatan Masyarkat USU sekaligus sebagai pamandu acara. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM dari Fakultas Kesehatan Masyarakat USU
Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, M.Sc., Sc.D, dari Pusat Kesehatan Reproduksi FK-KMK UGM, dr. Amirah Ellyza Wahdi, MSPH, dar Pusat Kesehatan Reproduksi FK-KMK UGM.
Dr. Abdul Wahab, MPH, dari Pusat Kesehatan Reproduksi FK-KMK UGM, Althaf Setiawan, S.Si, MPH, dari Pusat Kesehatan Reproduksi FK-KMK UGM,Rizka Rachmawati, SKM, dari Pusat Kesehatan Reproduksi FK-KMK UGM.
Akto Adhi Kuntoro dari Pusat Kesehatan Reproduksi FK-KMK UGM.Indri Astuti, dari Pusat Kesehatan Reproduksi FK-KMK UGM Esti Nuryanti dari Pusat Kesehatan Reproduksi FK-KMK UGM.
Diseminasi ini juga dihadir dari unsur Organisasi Perangkat Daerah (OPD), seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Rumah Sakit Jiwa, Akademis, LSM, Pekerja Sosial,BKKBN, Asosiasi Psikologi dan unsur terkait lainnya.P06